Senja

 Tak seperti matahari yang dalam keadaan senja selalu ditunggu menjadi kenangan, dinikmati dengan penglihatan dan diabadikan dalam banyak jepretan. Usia senja selalu menjadi momok menakutkan bagi umat manusia kebanyakan.

Sidharta Gautama, mendapatkan pencerahan salah satu lantarannya adalah karena ia terheran-heran melihat manusia yang hidup tetapi tidak muda dan dengan penuh kepayahan.

Menjadi tua bukanlah suatu hal yang dinanti, dinikmati apalagi diabadikan oleh kebanyakan kalangan manusia. Karena menjadi tua adalah masa di mana manusia tidak bisa berkuasa sebagaimana manusia muda.

Ya, kehilangan kekuasaan adalah momok terbesar dari manusia.

Akan tetapi, kehidupan ini akan terus berjalan walaupun sekeras apapun manusia menolak untuk mengalami penuaan. Jikalau bisa memilih, maka pilihannya begitu pelik, antara mati muda atau hidup tua.

Begitu sangat tidak menyenangkannya menjadi tua.

Memang, harapannya jikalau berumur panjang adalah selalu diberi kesehatan, ingatan dan kekuatan sebagaimana waktu muda atau sebagaimana kakek-nenek terdahulu. Akan tetapi manusia zaman sekarang mana sih yang gaya hidupnya setara atau hampir menyamai dengan para terdahulu? Alam telah berubah, pola makan telah berubah, segala macam bentuk kegiatan telah berubah. Dan perubahan ini sebagaimana khalayak mengerti telah jauh dengan apa yang terjadi dan dilakukan dengan masa lalu.

Hal ini yang kemudian menjadikan kesehatan, ingatan dan kekuatan manusia-manusia senja di masa sekarang sangat berkemungkinan akan menurun dibanding saat muda. Apakah ini sebuah kesalahan? Ah, entahlah.

Selain kehilangan kekuasaan, usia senja adalah di mana manusia tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya. Pernyataan ini menurutku terlalu tajam, tetapi jika dipikirkan lagi sering kali kita menganggap para orang tua adalah manusia yang tidak mengapa jika mereka dipinggirkan, dianggap tak memiliki pikiran normal bahkan keberadaannya dianggap tak ada hanya karena mereka tidaklah lagi muda dan tidak berkuasa.

Teringat cerita seorang Bibi ceriwis yang kutemui di Borolong saat salah satu Uwa-ku (yang juga telah berusia senja) meninggal dunia. Ia bercerita mengenai abahnya yang seringkali terlihat menangis, tak pernah diketahui alasannya apa, hingga ia pun mempertanyakannya

“Bah, naha sok nangis wae? Nyeri atanapi kumaha?”

“heunteu, ngan kieu, Abah teh boga budak teh loba pan?”

“Muhun, bah”

“Naha atuhnya, euweuh nu ngurus Abah ayeuna teh? Padahal sawah jeung sagalana geus diberekeun ka budak abah, Naha euweuh nu daek ngurus Abah?”

Dari situ Bibi ceriwis langsung kaget terasa terkena petir di siang bolong dengan jawaban dari Abah yang diucapkan dengan pelan tetapi begitu menohok artinya. Kemudian untuk menjawabnya sambil menenangkan diri, Bibi ceriwis mengatakan,

“Oh, pan di Abah di dieu sareng .... (entah siapa namanya ia menyebutkan nama, aku lupa). Hayu atuh urang kaditu”

Kisah inipun terhenti dengan kesimpulan dari Bibi Ceriwis bahwa mungkin saja yang dimaksud dengan perkataan menusuk dari Abah itu adalah ia ingin dibersamai, diajak mengobrol, makan bersama dan dianggap ada. Tidak hanya sekedar diberi makan, tempat tinggal, tempat istirahat tetapi dianggap tidak ada.

Hal yang kurasa menyeramkan lainnya saat usia senja adalah ditinggalkan. Entah oleh teman, saudara, pasangan atau bahkan buah hatinya sendiri. Walaupun memang seringkali kulihat orang tua mengatakan bahwa dirinya tak mengapa ditinggal, tetapi apakah memang dari hatinya seperti itu? Aku tak mengerti.

Manusia tua yang sudah kehilangan kekuatan, kesempatan beraktivitas bahkan mudah sakit-sakitan lalu ditinggalkan. Apakah menyenangkan membacanya? Tentu tidak. Dan apakah hal ini banyak terjadi? Semoga saja tidak.

Jikalau memang di kasus lain hal ini terjadi, apakah ini disebut masalah? Aku akan dengan lantang mengatakan bahwa ia ini adalah masalah. Dan mungkin solusinya akan seperti menaruh jarum di dalam jerami. Atau mungkin seperti ungkapan memakan buah simalakama.

Salah satu solusi paling umum yang akan terpikirkan mengenai masalah ini adalah anak yang harus menunggui orang tuanya. Akan tetapi bagaimana jika sang anak telah memiliki tanggung jawab lain, seperti bekerja, mempunyai keluarga atau bersekolah? Ketiga hal tersebut adalah tanggung jawab besar yang jika ditinggalkan malah menimbulkan masalah lainnya.

Atau jika memang tidak bisa anaknya yang membersamai orang tuanya, maka saudaranya saja. Tetapi jika saudara memiliki tanggung jawab lain seperti yang terjadi pada anak bagaimana? Atau jika ternyata tak ada saudara yang hidup dekat yang dengan manusia senja itu?

Yasudah, dibantu dengan orang lain yang memang dipekerjakan untuk menemaninya. Akan tetapi permasalahan lain malah muncul, apakah si orang tua dan orang yang dipekerjakan itu akan cocok? Bisa akrab? Seperti halnya khalayak tahu, bahwa para orang tua seringkali melakukan hal-hal yang terlihat aneh dan kadang menyebalkan. Atau mungkin si orang yang dipekerjakannya itu tidak bisa dipercaya atau tidak memiliki kesabaran lebih.

Huft, pelik memang.

Mungkin sedikit saranku yang bisa dilakukan mengenai masalah ini adalah tidak perlu ada yang disalahkan, entah itu dari pihak anak, atau si orang tuanya sendiri. Bagaimanapun juga si anak telah memiliki tanggung jawab lain yang tak kalah pentingnya dan si orang tua walaupun dengan kehendaknya yang kadang aneh atau menyebalkan tetap saja ia manusia yang telah lemah dan perlu dianggap sebagai manusia normal lainnya.

Video call dan sesekali mengunjungi orang tua adalah solusi terbaik untuk sekarang bagi kamu-kamu yang masih menginginkan berbakti kepada orang-orang tua, sebagai pelipur sedikit lara yang telah dialaminya.

NB: Kutawarkan kedua saran ini dikarenakan meninggalkan orang tua sendirian adalah termasuk masalah. Jikalau ada yang menganggapnya bukan masalah, sepertinya saran-saran itu tidak diperlukan.

Komentar