Saat Manusia Kontemporer yang Berideologi Pragmatis Mencoba Menanam

Zaman Kiwari dengan menarikan jemari di atas layar gawai, barang yang diinginkan tiba-tiba saja sudah sampai dalam genggaman.
Betapa menyenangkan kehidupan.
Lalu hal ini terbentur dengan krisis iklim, lingkungan yang mulai panas tak karuan, harga beras melambung seperti angan-angan, hanya untuk makan saja tak cukup 20ribuan, apalagi sekedar mencicipi hiling2 yang minimal memiliki uang ratusan. 
Salah satu kiblat media sosial yang sering di pandangnya kemudian menawarkan cara bertahan hidup dengan berkebun dan menanam yang ternyata sangat mudah (1 bulan sudah panen)
Dengan berlandaskan hal yang murah, mudah dan berlimpah, ia pun melakukannya dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi
Namun, Apa yang terjadi? Ternyata dia kelimpungan dengan harapan yang tak sesuai kenyataan
Benih yang disemai tak mau tumbuh, yang sudah tumbuh tak mau berbunga, yang mau berbunga malah gugur berjatuhan, di saat inilah waktu yang tepat untuk berpesimis ria.
Namun, sepertinya Tuhan sangat memahami manusia pragmatis ini yang perlu diberikan pancingan semangat agar kembali kepercayaannya.
Tiba-tiba saja, saat hati masih mengeluarkan keluhan sebanyak buih lautan, satu bakal buah muncul, lalu dua, lalu tiga, lalu empat, lalu sampai tak terhitung jumlahnya.
Apa yang dirasakannya? Jelas bahagia tak ketulungan.
kembali ia beroptimis
Namun sayangnya, seluruh buah yang muncul dan membesar itu tak mau berubah warna menjadi merah sebagai tanda kematangan, 
kembali ia merengakan hal itu kepada Tuhan. 
Berkali-kali ia mengadukannya, tetap saja warna buah itu hijau seperti bendera salah satu ormas di negeri ini.
Sekian lama menatap, tanpa sepengetahuan dirinya, satu buah tersebut mulai menunjukkan gradasi agak kemerah-merahan yang kemudian warna merah tersebut mengalahkan warna sebelumnya menjadi sangat membara.
Satu buah berubah, dua buah berubah, tiga buah berubah, empat buah berubah dan seluruh buah yang telah dewasa kini telah menunjukkan keberaniannya untuk menjawab kegusaran si manusia tak sabaran dengan warna merahnya yang begitu berkobar.
Menanam, kebiasaan manusia prasejarah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan bagi siapapun yang masih bisa berdiri di tanah yang bermandikan cahaya matahari dan aliran air yang menyejukkan.

Aku pun menyadari bahwa ternyata alam masih menepati janjinya kepada Tuhan, untuk bisa bermanfaat bagi manusia-manusia yang  seringkali sinting demi urusan bertahan hidup.

Komentar